
PPN 12%: Solusi atau Ilusi bagi Ekonomi Rakyat?
Ringkasan Artikel:
Artikel ini membahas kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang dirancang dengan pendekatan selektif untuk mendorong penerimaan negara tanpa membebani masyarakat secara luas.
Poin-poin utama:
Pendekatan Selektif: Kebijakan ini menargetkan barang dan jasa kategori mewah, seperti kendaraan bermotor mewah, bahan pangan premium (mewah) dan barang mewah lainnya, untuk memastikan dampaknya lebih dirasakan oleh masyarakat mampu.
Manfaat Potensial: Dengan kebijakan ini, pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak secara adil dan meminimalkan pengaruh pada kebutuhan pokok masyarakat berpenghasilan rendah.
Pengelolaan Tantangan: Pemerintah diharapkan dapat memastikan distribusi pendapatan pajak yang transparan, mendukung stabilitas ekonomi, dan menjaga daya beli masyarakat.
Dampak Positif: Penerapan pajak progresif yang lebih baik ini diharapkan dapat mendukung pembangunan yang inklusif sekaligus membantu adaptasi dunia usaha terhadap kebijakan baru.
Rekomendasi untuk Individu: Usulan langkah strategis perencanaan keuangan bagi individu dalam mengantisipasi dampak kenaikan PPN
Kebijakan ini mencerminkan langkah positif untuk mewujudkan keadilan pajak dan mendukung keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global, dengan pengawasan dan pelaksanaan yang optimal untuk hasil maksimal.
PPN 12%: Solusi atau Ilusi bagi Ekonomi Rakyat?
Kenaikan PPN (1) sebesar 9% atau 1 percentage point telah menarik atensi publik sejak pertengahan tahun 2024. Respons beragam yang muncul pasca-pemberitaan kenaikan PPN akhirnya mendorong pemerintah untuk segera merevisi pembaruan kebijakan dengan sifat kenaikan yang lebih selektif (Masitoh & Laoli, 2024). Selektivitas kenaikan PPN menekankan peningkatan pajak yang terbatas pada barang mewah (termasuk kendaraan bermotor, hunian mewah, pesawat udara, balon udara, senjata api, dan kapal pesiar mewah) (PP 61 Tahun 2020). Meskipun demikian, secara umum praktik kebijakan peningkatan PPN tetap menjadi pisau bermata dua; yang mana salah satu sisinya meningkatkan pendapatan negara dan sisi lainnya menciptakan tantangan sosial ekonomi, khususnya bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah (Bräutigam, 2002; Dom & Miller, 2018; Di John, 2006). Terlebih, jika pendapatan negara dari pajak tidak didistribusikan secara transparan dan adil, maka akan berpotensi memicu ketidakpuasan dari masyarakat (Pritchett & Aiyar, 2015; Di John, 2010).
Pada dasarnya, PPN yang berperan sebagai pajak tidak langsung merupakan pajak yang dalam praktiknya cenderung regresif atau meningkatkan ketimpangan beban yang dihadapi oleh kelompok berpenghasilan rendah (Pritchett & Aiyar, 2015). Seringkali upaya peningkatan PPN disebabkan oleh penurunan kontribusi pajak langsung (termasuk PPh, PBB, pajak usaha dagang, dan PKB). Untuk itu, peningkatan PPN dianggap menjadi kebijakan fiskal paling efektif bagi negara berkembang karena sifat administrasi yang lebih sederhana dibandingkan pajak tidak langsung (Cnossen, 1978; Emran & Stiglitz, 2005). Jika pembaruan terkait selektivitas peningkatan PPN resmi diaplikasikan, Indonesia mampu mengadopsikan sistem pajak progresif yang telah berlaku di welfare state—atau yang populer dikenal dengan slogan “tax the rich.” Selain itu, pasar yang dipengaruhi memiliki sifat inelastis. Dengan kata lain, keseimbangan antara pasokan dan permintaan akan tetap stabil ketika penerimaan pendapatan negara terus meningkat.
Tentunya peresmian klausul selektivitas ini harus dipantau untuk menjamin signifikansi penerimaan pendapatan negara terhadap kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, klausul selektivitas yang mencakup kendaraan bermotor dalam salah satu komoditas yang dinaikan pajaknya masih berpotensi menyebabkan inflasi karena banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu, perlu disiapkan kebijakan antisipatif oleh pemerintah terkait permasalahan ini. Di samping itu, komoditas yang digunakan untuk tujuan niaga seperti kapal dan pesawat juga dikecualikan kenaikan pajaknya. Dengan demikian, terdapat potensi rent-seeking atau kolusi (suap) dari kelompok kepentingan terkait untuk melabeli pesawat atau kapal pribadinya sebagai instrumen usaha (Shughart II, 1997). Apabila klausul selektivitas tidak diterapkan, tentunya dampak sosial dan ekonomi yang muncul akan lebih besar, termasuk peningkatan inflasi, perbesaran ketimpangan sosial, dan penurunan daya beli masyarakat dalam angka yang besar (Putri, 2024; Ross, Mouzinho, & Fox, 2024). Terlebih, banyak temuan dari ekonom yang menyebutkan bahwa hubungan statistik antara peningkatan pajak dan pertumbuhan ekonomi negara sangatlah lemah (Easterly & Rebelo 1993).
Dengan adanya pernyataan pemerintah bahwa kebijakan PPN 12% bersifat selektif dan hanya menargetkan barang dan jasa kategori mewah atau premium, setidaknya memberikan titik terang bahwa pemerintah menarget kenaikan pajak ini untuk masyarakat mampu atau masyarakat menengah ke atas. Pernyataan ini dapat memberikan kepastian bagi pengusaha untuk beradaptasi dalam memitigasi risiko inflasi. Di samping itu, pemerintah juga didorong untuk meningkatkan penerimaan dari pajak langsung dengan mengintervensi sisi supply, termasuk ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak, peningkatan ketersediaan dan kualitas kebutuhan pokok, serta peningkatan upah minimum buruh.
1 PPN adalah pajak yang dibebankan pada setiap transaksi barang dan jasa, yang artinya semakin tinggi PPN, harga barang juga ikut naik
Antisipasi Kenaikan PPN 12% terhadap Perencanaan Keuangan Individu
Kenaikan PPN menjadi 12% akan berdampak langsung pada biaya hidup, karena terdapat kemungkinan harga barang dan jasa akan naik. Untuk mengantisipasi hal ini, individu dapat melakukan beberapa langkah strategis dalam perencanaan keuangan:
1. Meningkatkan Ketelitian dalam Membuat Anggaran
Review pengeluaran bulanan: Identifikasi pengeluaran wajib dan kategorikan mana yang bersifat kebutuhan dan keinginan. Prioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan utama seperti makanan, transportasi, dan kesehatan. Sesuaikan alokasi anggaran: Dengan kenaikan harga barang dan jasa, individu perlu menyesuaikan alokasi anggaran untuk setiap kategori pengeluaran, terutama kebutuhan pokok, agar tetap sesuai dengan pendapatan.
2. Memperkuat Dana Darurat
Kenaikan PPN dapat meningkatkan tekanan finansial, terutama jika ada kenaikan harga kebutuhan pokok. Memiliki dana darurat yang cukup (idealnya 6–12 bulan pengeluaran) dapat memberikan perlindungan jika inflasi memengaruhi stabilitas keuangan Anda. Fokuslah untuk menabung lebih banyak dalam beberapa bulan sebelum kenaikan PPN diberlakukan.
3. Mengurangi Pengeluaran Tidak Penting
Dalam kondisi di mana biaya hidup meningkat, individu perlu lebih disiplin mengurangi pengeluaran konsumtif seperti makan di luar, hiburan, atau pembelian barang-barang mewah. Gunakan prinsip value-based spending, yaitu hanya mengeluarkan uang untuk hal-hal yang memberikan nilai nyata bagi kehidupan Anda.
4. Mengoptimalkan Sumber Pendapatan
Jika memungkinkan, pertimbangkan untuk mencari sumber pendapatan tambahan, seperti pekerjaan paruh waktu atau bisnis kecil, untuk menutupi kenaikan biaya hidup. Investasikan pendapatan tambahan ke aset produktif untuk melindungi nilai uang dari dampak inflasi.
5. Menghindari Utang Konsumtif
Dengan harga barang yang meningkat, hindari mengambil utang untuk pengeluaran konsumtif, seperti menggunakan kartu kredit tanpa perencanaan matang. Utang konsumtif hanya akan menambah tekanan finansial dalam jangka panjang.
6. Melindungi Daya Beli Melalui Investasi
Investasikan sebagian dana ke instrumen yang mampu melindungi nilai uang dari inflasi, seperti logam mulia, reksa dana pendapatan tetap, atau obligasi ritel yang memberikan imbal hasil tetap. Pastikan investasi dilakukan setelah kebutuhan pokok dan dana darurat terpenuhi.
Kesimpulan Tambahan
Kenaikan PPN menjadi 12% tidak hanya memengaruhi ekonomi makro tetapi juga kehidupan individu sehari-hari. Dengan langkah-langkah perencanaan keuangan yang tepat, setiap individu dapat memitigasi dampak kenaikan ini dan tetap menjaga stabilitas keuangan mereka di tengah perubahan kebijakan pajak. Langkah antisipatif yang dilakukan saat ini akan membantu menciptakan keseimbangan finansial di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Bräutigam, D. (2002). Building Leviathan: Revenue, State Capacity, and Governance.
IDS Bulletin, 33(3), 1–17. https://doi.org/10.1111/j.1759-5436.2002.tb00034.x
Cnossen, S. (1978). The case for selective taxes on goods and services in developing countries. World Development, 6(6), 813–825. https://doi.org/10.1016/0305-750x(78)90046-3
Di John, J. (2006), The Political Economy of Taxation and Tax Reform in Developing Countries. World Institute of Development Economics Research (WIDER) Research Paper, No. 2006/74, Helsinki: United Nations University-WIDER. http://www.wider.unu.edu
Di John, J. (2010). Taxation, resource mobilisation and state performance. Crisis States Working Papers Series No. 2, 2(84).
Dom, R. and Miller, M. (2018) Reforming tax systems in the developing world: What can we learn from the past?. ODI Report.
Easterly, W., & Rebelo, S. (1993). Fiscal policy and economic growth: An empirical investigation. National Bureau of Economic Research. https://doi.org/10.3386/w4499
Emran, M. S., & Stiglitz, J. E. (2002). On selective indirect tax reform in developing countries. SSRN Electronic Journal, 89, 599–623. https://doi.org/10.2139/ssrn.335660
Masitoh , S., & Laoli, N. (2024, December 8). Penerapan PPN 12% untuk Barang Mewah Bakal Bebani Pengusaha. Kontan. https://nasional.kontan.co.id/news/penerapan-ppn-12-untuk-barang-mewah-baka l-bebani-pengusaha
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2020 Tentang Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, 61 (2020). https://peraturan.bpk.go.id/Details/150325/pp-no-61-tahun-2020
Pritchett, L., & Aiyar, Y. (2015). Taxes: Price of civilization or tribute to leviathan?
SSRN Electronic Journal, 412. https://doi.org/10.2139/ssrn.2671570
Putri, I. M. (2024). Kenaikan PPN 12% dan Dampaknya Terhadap Ekonomi. Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi (MEA), 8(2), 934–944. https://doi.org/10.31955/mea.v8i2.4077
Ross, H., Mouzinho, Â., & Fox, S. (2024). Health taxes in Africa: Opportunities to advance women's welfare and gender equality. Gates Open Res, 8(30), 30.
Shughart II, W. (2018). Taxing choice: The predatory politics of fiscal discrimination. Routledge.