cara kelas menegah naik kelas

Kebiasaan Keuangan Ini, Bikin Kelas Menengah Susah Naik Kelas

September 09, 20255 min read

Dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century, ekonom Thomas Piketty menyinggung soal kesenjangan kekayaan yang semakin melebar. Salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku konsumsi dan pengelolaan keuangan yang berbeda antar kelas sosial. Kelas menengah seringkali terjebak dalam ilusi keamanan finansial: gaji tetap, cicilan lancar, dan gaya hidup “cukup mapan.”

Namun, kondisi ini rawan membawa mereka ke dalam middle income trap, jebakan yang membuat sulit naik kelas ke level sejahtera. Dilansir dari Media Keuangan Kemenkeu, fenomena ini menggambarkan keterbatasan kelas menengah dalam meningkatkan produktivitas dan akumulasi aset jangka panjang.

Apa Itu Kelas Menengah?

Secara umum, kelas menengah didefinisikan bukan hanya dari besaran penghasilan, tetapi juga dari gaya hidup dan pola konsumsi. Menurut BPS, pengeluaran kelas menengah di Indonesia berada pada rentang Rp4–Rp10 juta per bulan untuk rumah tangga. Namun, walaupun terlihat mapan, banyak dari mereka yang sebenarnya “rapuh secara finansial”—satu krisis kesehatan atau kehilangan pekerjaan bisa langsung mengguncang stabilitas ekonomi keluarga.

Di sinilah letak paradoks kelas menengah: punya daya beli, tapi sering terjebak pada konsumsi, bukan akumulasi aset.

Kebiasaan Keuangan yang Bikin Sulit Naik Kelas

kebiasaaan keuangan kelas menengah

Kebiasaan 1: Lebih Suka Konsumtif daripada Investatif

Dilansir dari Kompas Money, banyak kelas menengah yang lebih memilih belanja barang konsumtif—gadget terbaru, mobil cicilan, atau liburan mewah—dibanding menyisihkan dana untuk investasi. Akibatnya, arus kas habis untuk hal yang nilainya menyusut, bukan berkembang.

Kebiasaan 2: Tidak Memiliki Dana Darurat dan Proteksi Asuransi

Banyak orang menganggap tabungan cukup sebagai “safety net”. Padahal, dana darurat yang ideal adalah 3–6 bulan pengeluaran rumah tangga. Lebih parah lagi, proteksi asuransi sering dianggap tidak penting. Menurut CNBC Indonesia, orang kaya cenderung selalu menyiapkan instrumen proteksi agar aset dan keluarga tetap aman, sementara kelas menengah mengabaikannya hingga terlambat.

Produk seperti Allianz SmartLink Flexi Account Plus sebenarnya bisa menjawab dua kebutuhan sekaligus: proteksi jiwa sekaligus nilai tunai untuk investasi jangka panjang.

Kebiasaan 3: Mengandalkan Cicilan sebagai Gaya Hidup

Dilansir dari Kontan, kecanduan cicilan adalah salah satu kebiasaan paling berbahaya. Mulai dari cicilan gadget, kendaraan, hingga kartu kredit, semua terlihat ringan di awal tapi menggerogoti cashflow. Orang kaya lebih sering menggunakan prinsip pay in full untuk menjaga likuiditas, sementara kelas menengah menunda risiko dengan utang.

Dampak dari Kebiasaan Buruk Ini

Dampak 1: Tidak Ada Akumulasi Aset

Alih-alih membangun kekayaan lewat investasi atau bisnis, penghasilan kelas menengah habis untuk membayar cicilan dan konsumsi. Akhirnya, mereka hanya bekerja “untuk bertahan”, bukan untuk tumbuh.

Dampak 2: Rentan Krisis Finansial

Tanpa dana darurat dan asuransi, satu musibah kesehatan atau kehilangan pekerjaan bisa menguras habis tabungan. Ini membuktikan bahwa stabilitas kelas menengah seringkali ilusi semata.

Dampak 3: Terjebak Middle Income Trap

Kebiasaan konsumtif membuat kelas menengah sulit naik kelas. Produktivitas terbatas, tabungan minim, dan aset tak terkumpul. Padahal, dilansir dari Media Keuangan Kemenkeu, hanya dengan perencanaan keuangan yang matang masyarakat bisa lepas dari jebakan ini.

Cara Mengubah Kebiasaan Keuangan agar Bisa Naik Kelas

Mengubah kebiasaan keuangan bukanlah hal instan—ia butuh kesadaran, disiplin, dan strategi yang tepat. Banyak keluarga kelas menengah di Indonesia terjebak dalam siklus pengeluaran yang tidak produktif karena merasa “sudah mapan”. Padahal, menurut laporan World Bank (2023), sekitar 45% masyarakat kelas menengah di Indonesia rentan turun kelas akibat ketidakstabilan ekonomi. Artinya, hanya sedikit yang benar-benar berhasil “naik kelas” menjadi kelompok kaya.

Lantas, bagaimana caranya agar kelas menengah bisa keluar dari jebakan ini?

1. Membuat Anggaran dan Disiplin pada Cash Flow

Langkah pertama adalah mengenal arus kas (cash flow) pribadi maupun keluarga. Banyak kelas menengah merasa tidak perlu mencatat pengeluaran karena merasa cukup punya gaji bulanan. Padahal, tanpa pencatatan, kita tidak pernah benar-benar tahu kemana uang pergi.

  • Buat pos pengeluaran dengan metode 50-30-20:

    • 50% untuk kebutuhan pokok (makan, sewa rumah, transportasi),

    • 30% untuk gaya hidup,

    • 20% untuk tabungan, investasi, dan proteksi (termasuk asuransi).

Disiplin cash flow inilah yang jadi fondasi penting agar dana tidak habis percuma. Dilansir dari Kontan, salah satu penyebab kelas menengah sulit naik kelas adalah “lemahnya kontrol terhadap arus kas”.

2. Mengurangi Konsumtif, Meningkatkan Investasi

Gaya hidup konsumtif adalah musuh utama kelas menengah. Smartphone baru, liburan dadakan, hingga nongkrong premium sering dianggap kebutuhan. Padahal, hal ini justru menggerus potensi untuk membangun aset.

Sebaliknya, fokuslah pada investasi produktif. Misalnya:

  • Reksa dana pasar uang atau saham,

  • Properti jangka panjang,

  • Emas sebagai lindung nilai inflasi.

Selain itu, unit link Allianz SmartLink Flexi Account Plus bisa menjadi pilihan cerdas karena menggabungkan proteksi jiwa dengan investasi. Dengan begitu, kamu tidak hanya menyimpan uang, tapi juga melipatgandakannya untuk masa depan.

Menurut data dari OJK (2024), hanya sekitar 2,2% masyarakat Indonesia yang rutin berinvestasi, jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Inilah kenapa kelas menengah sering terjebak dalam stagnasi.

3. Membangun Dana Darurat & Proteksi Asuransi

Kebiasaan yang sering diabaikan kelas menengah adalah menyiapkan dana darurat. Dana ini sebaiknya minimal 3–6 kali pengeluaran bulanan. Tanpa dana darurat, setiap krisis kecil (PHK, sakit, atau musibah) bisa membuat keluarga jatuh miskin kembali.

Selain dana darurat, asuransi juga krusial. Dengan premi yang relatif terjangkau, asuransi melindungi keluarga dari beban finansial besar yang bisa tiba-tiba datang. Contoh:

  • Asuransi kesehatan Allianz untuk menutup biaya rumah sakit,

  • Asuransi jiwa Allianz untuk memastikan keluarga tetap terlindungi jika pencari nafkah utama meninggal dunia.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel Media Keuangan Kemenkeu, middle income trap bukan hanya soal pendapatan yang stagnan, tetapi juga ketidakmampuan melindungi aset saat terjadi krisis.

4. Ubah Mindset: Dari Konsumen Jadi Produsen

Kebiasaan lain yang bisa diubah adalah cara melihat uang. Kelas menengah sering kali hanya menjadi konsumen: membeli produk, mengikuti tren, dan berkompetisi dalam gaya hidup. Padahal, cara naik kelas adalah menjadi produsen atau pemilik aset. Contoh:

  • Alih-alih hanya belanja online, cobalah memulai bisnis kecil di marketplace.

  • Alih-alih hanya menonton konten, cobalah membuat konten dan memonetisasi.

  • Alih-alih hanya konsumsi barang branded, cobalah berinvestasi di saham perusahaan tersebut.

Dengan pola pikir ini, kelas menengah bisa menciptakan aliran pendapatan baru yang lebih berkelanjutan.

Kebiasaan yang Salah Bikin Kelas Menengah Susah!

Singkatnya, naik kelas bukan soal seberapa besar gaji, tetapi bagaimana cara mengelola dan melindunginya. Dengan cash flow sehat, investasi produktif, dana darurat, serta proteksi asuransi, peluang keluar dari jebakan kelas menengah jauh lebih besar.

Mau tahu lebih dalam strategi keluar dari jebakan middle income trap? Baca artikel lengkapnya di Money Mindset dan temukan tips finansial lain yang bisa bikin masa depanmu lebih terjamin.

Dan jika kamu tertarik untuk berkonsultasi langsung dengan ahlinya secara GRATIS, klik gambar di bawah ini!

konsultasi keuangan bersama ahlinya, gratis


A Certified Financial Planner (CFP), Islamic Financial Planner (IFP), Qualified Wealth Planner (QWP), and Certified Insurance Specialist. With over a decade of experience in the financial industry, I help individuals navigate their personal finances, from debt management to wealth planning, so they can achieve financial freedom with confidence.

Yodhi, CFP

A Certified Financial Planner (CFP), Islamic Financial Planner (IFP), Qualified Wealth Planner (QWP), and Certified Insurance Specialist. With over a decade of experience in the financial industry, I help individuals navigate their personal finances, from debt management to wealth planning, so they can achieve financial freedom with confidence.

LinkedIn logo icon
Instagram logo icon
Back to Blog

Konsultasi Sekarang!

segera raih kemakmuran finansial yang holistik

Mari Terhubung

All Right Reserved | 2024